Selasa, 29 April 2014
Sepucuk Jambi Sembilan Lurah
Mari Sejenak Menikmati Keindahan Pantai Sai Bumi Rua Jurai
Pesona Wisata Sai Bumi Rua Jurai
Lampung adalah sebuah provinsi paling
selatan di Pulau Sumatera, Indonesia. Di sebelah utara berbatasan dengan Bengkulu dan Sumatera
Selatan. Lampung memiliki garis pantai yang cukup panjang, dengan garis
pantai yang panjang ini Lampung memiliki potensi pariwisata yang perlu
dikembangkan. Provinsi Lampung dengan ibukota Bandar
Lampung, yang merupakan gabungan dari kota kembar Tanjungkarang dan Telukbetung
memiliki wilayah yang relatif luas, dan menyimpan potensi kelautan.
Kebetulan, Ibu kandung saya
berdarah Lampung sehingga bisa dipastikan hampir setiap tahun saya mengunjungi
Sai Bumi Rua Jurai Ini. Berikut ini saya akan bercerita sedikit tentang Potensi
Pariwisata Pantai di Lampung, salah satunya Pantai Mutun dan Pantai Pahawang.
Menuju ke Pantai Mutun tidaklah
susah, hanya dengan menempuh perjalanan darat dari Bandar Lampung kira-kira
lebih kurang 1 jam. Jalan menuju Pantai Mutun memang lah tidak semulus jalan menuju
pantai-pantai di Pulau Bali dan Pulau Lombok padahal jika sarana dan prasarana tersebut
dibenahi dapat meningkatkan minat wisatawan menuju tempat-tempat wisata di
Provinsi Lampung.
Berikut Gambar yang saya ambil
ketika mengunjungi pantai Mutun ...
Berikutnya, yang tak kalah
indahnya Pantai Pulau Pahawang, Pulau Pahawang terletak di Kecamatan Punduhpedada,
Pesawaran, Lampung. Dari Pantai Mutun, kita lanjutkan perjalanan menuju Pantai Klara, nah di situlah ada Dermaga Ketapang.
Dari Dermaga ketapang ini kita bisa sewa perahu boat untuk keliling pulau2 di
sekitar seperti Pulau Kelagian, pulau pahawang bahkan sampai ke tanjung
putus.
peta pahawang
dermaga ketapang
pantai pulau pahawang
pahawang kecil
pahawang
Mudah Bukan, kalau Anda Penasaran dengan Keindahan Pesona
Wisata Pantai Provinsi Lampung, luangkan waktu 2 atau 3 hari, Anda juga bisa
menambah destinasi Wisata Teluk Kiluan yang terkenal dengan Lumba-Lumba yang
bermain di Alam Bebas, di wilayah perairan laut Provinsi Lampung. Selamat
Menikmati Keindahan Alam Provinsi Lampung. Semoga Catatan Kecil Perjalanan
Wisata-ku ini bisa bermanfaat^^
Agar Pernikahan Membawa Berkah
Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka ia akan
mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a
keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah
memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian
berdua dalam kebaikan.”
Do’a ini sarat dengan makna yang
mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak
keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak
fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga
setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan
keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan
itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun
non materil.
Munculnya berbagai konflik dalam keluarga
tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi
keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya
semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi
sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan
kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.
Seringkali
kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang
kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang
sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan
pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan
kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha,
bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas
kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan
masyarakat di sekitarnya.
Realitas lain juga menunjukkan
adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga, sering muncul
konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian. Juga muncul
anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga
terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba. Semua itu menunjukkan
tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.
Memperhatikan
fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga sebagaimana
tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah)
terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam
memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan keberkahan
dalam meniti hidup berumah tangga ?
1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)
Motivasi
menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik.
Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana
diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan
signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang
berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul
dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits :
”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak
menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan
Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya
proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan
kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak
menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien
(agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan,
keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan (walimatul ‘urusy)
hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir), tradisi
yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath).
Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya
berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang
dicontohkan Rasulullah saw.
Menikah merupakan upaya
menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah
menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu
mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolongan kepada
mereka yang mengambil langkah ini; “Tiga golongan yang wajib Aku
(ALLAH) menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena
ingin menjaga kesucian dirinya.” (Hadits Riwayat - Tarmidzi)
Menikah
juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim
(syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan
keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim
teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala
aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu
menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya
keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud
komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.
2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)
Secara
fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling
terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu
adalah sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun
harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah),
dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing
dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan
dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.
Hal
itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal
menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan
kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam
perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau
karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang
demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera
introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas
dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk
penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka
dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan
potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.
3. Sikap toleran (Tasamuh)
Dua
insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan
pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan
terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu
permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian,
dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap
toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena
itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan
dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan
yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti
yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus
mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang
ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya
meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.
Prinsip
“hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan
isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah
menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah.
Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri,
begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami
merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya;
sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang
ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.
Sikap toleran
juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga)
tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang
diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak
diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah untuk
orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum
menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari
pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang
berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan”
kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk
memberikan perbaikan dan peningkatan.
4. Komunikasi (Musyawarah)
Tersumbatnya
saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan
rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak
harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan
jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.
Kesibukan
masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang
tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa
dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan
kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian
(empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa
jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan
shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam,
saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi
keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.
Alqur’an
dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung
dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam
QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar”.
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah
tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik antara orang
tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta
pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat
atas kekuasaan Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah,
dan adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah; sehingga perintah
yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak
Allah yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan
besar.
5. Sabar dan Syukur
Allah
SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Peringatan Allah tersebut nyata dalam
kehidupan rumah tangga dimana sikap dan tindak tanduk suami/istri dan
anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya
dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara
langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan,
menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap
suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan
isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan,
permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan
sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan
keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran
rumah tangga.
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan
anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal
diri dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah
keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang
memang diluar kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus
penuh sebagai satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada
dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun
penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan
kecenderungannya. Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga
merupakan hal yang fundamental (asasi) untuk mencapai keberkahan,
sebagaimana ungkapan bijak berikut:“Pernikahan adalah Fakultas
Kesabaran dari Universitas Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas
Kesabaran akan meraih banyak keberkahan.
Syukur juga
merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah
tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka
adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya.
Mensyukuri
rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun
besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu
membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam
meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-anak
dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan
yang harus dipersiapkan.
Dalam keluarga harus dihidupkan
semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat “menuntut” kebaikan,
sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya
kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS.
Ibrahim:7).
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah,
harus diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani
sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu
mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan
pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:
Ya Rabb kami
karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata, dan
jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.
Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.
Do’a
diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat
(muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana
diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100
; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40). Pada intinya
keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata
(Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad
yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah
karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali radhi), dan
senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).
Demikianlah
hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat
tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang
baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib),
fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya
kita selalu memanjatkan do’a tersebut.
6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
Merawat
cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka
pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan
indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw
menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang
paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang
paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)
Sikap
yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi
kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan
indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan
(maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal
di rumah.
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati”
(Rumahku Syurgaku) bukan semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya
fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh
suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh
santun dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban,
kedamain, dan cinta kasih.
Sikap yang santun dan bijak
merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi
ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan bersikap
emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah
mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan secara
berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah
karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar
dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah
hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah
karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah
ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan. Ingatlah, bila
karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami,
segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk
dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak
baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.
7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)
Hubungan
yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan
ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah
dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam
meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan
hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq
billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil
seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan
rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu memanjatkan do’a agar
mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa
diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati,
teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam
menta’ati-Mu).
Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan
pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), sehingga ia
merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya (ma’iyatullah)
dan selalu merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya
(muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilatih dan ditumbuhkan dalam
lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan
ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama, seperti :
tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll.
Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana menjalin
keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga, dan yang
penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin
orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS.
Ath-Thalaaq: 2-3.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (solusi) dan
memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)
nya.”
Wujud indahnya keberkahan keluarga
Keberkahan
dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga,
baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia,
boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan
rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang
(muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk
kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.
Kebahagiaan
hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4
(empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang
sholihah,
(2) Rumah yang luas,
(3) Kendaraan yang nyaman, dan
(4) Tetangga yang baik.
Kita
bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang
nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar,
silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak
keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang
dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan
syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya
yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai
cobaan.
Kebahagiaan yang lebih penting adalah
kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud dijauhkannya kita dari api
neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup
di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan
dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Selanjutnya
alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan
kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam
syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:
“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)
“Dan
orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan
mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala
amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.
(QS. Ath-Thuur:21).
Inilah keberkahan yang hakiki. ♥
Langganan:
Postingan (Atom)